![]() |
Istilah feodalisme sering muncul dalam diskusi mengenai
struktur kekuasaan yang tidak demokratis, ketaatan buta, dan hierarki sosial
yang kaku. Paham ini merupakan sistem sosiopolitik historis yang berdampak
besar pada peradaban, dan belakangan, istilahnya digunakan untuk mengkritisi
fenomena tertentu dalam lembaga tradisional Indonesia, termasuk pesantren.
Apa Itu Feodalisme?
Secara etimologi, kata feodalisme berasal dari bahasa Latin, feodum atau feudum,
yang berarti tanah warisan atau tanah pemberian.
Feodalisme adalah
sebuah sistem sosial, politik, dan ekonomi yang berkembang di Eropa pada Abad
Pertengahan. Inti dari sistem ini adalah hubungan timbal balik yang
bersifat hierarkis dan personal, terutama yang didasarkan pada kepemilikan dan
penguasaan tanah (lahan).
Prinsip Utama Feodalisme
Feodalisme memiliki beberapa ciri utama yang mendasari strukturnya:
- Kepemilikan
Tanah sebagai Sumber Kekuasaan: Orang yang memiliki atau menguasai lahan luas (tuan
tanah/bangsawan) otomatis memiliki kekuasaan ekonomi dan politik mutlak
atas orang-orang yang tinggal dan bekerja di lahan tersebut (petani/rakyat
jelata).
- Hierarki
Kaku: Masyarakat
terbagi dalam strata yang ketat: Raja, Bangsawan, Ksatria, Petani/Rakyat
Jelata. Mobilitas sosial sangat sulit.
- Ketaatan
Personal: Hubungan
antara raja dan bangsawan, atau bangsawan dan petani, didasarkan
pada kesetiaan mutlak (homage) sebagai imbalan
atas perlindungan atau hak menggunakan tanah. Ketaatan ini bersifat wajib
dan seringkali dikultuskan.
Sejarah Singkat Feodalisme
Sistem feodalisme mulai berkembang di Eropa Barat sekitar abad
ke-9 Masehi, setelah runtuhnya Kekaisaran Romawi Barat. Wilayah Eropa saat
itu mengalami kekacauan, invasi, dan minimnya pemerintahan pusat yang kuat.
Latar belakang historisnya adalah kebutuhan akan perlindungan. Karena raja tidak mampu
mengontrol semua wilayah, raja mendelegasikan kekuasaan kepada bangsawan.
Raja memberikan hak penguasaan tanah (fief) kepada bangsawan (lord)
sebagai imbalan atas dukungan militer dan kesetiaan.
Bangsawan kemudian mengizinkan petani (serf) untuk menggarap tanah
mereka, dengan imbalan sebagian hasil panen dan ketaatan.
Feodalisme di Nusantara
Meskipun istilah Feodalisme berasal dari Eropa, sistem yang memiliki
ciri-ciri serupa — seperti kekuasaan yang terpusat pada raja/bangsawan,
kepatuhan mutlak, dan penentuan status berdasarkan keturunan — telah lama ada
di berbagai kerajaan-kerajaan Nusantara. Di Indonesia, sistem ini
bahkan dipelihara dan dimanfaatkan oleh pemerintah kolonial Belanda untuk
mempermudah kontrol atas rakyat melalui elite tradisional. Sisa-sisa pola pikir
hierarkis dan pengagungan jabatan ini masih dapat ditemui dalam birokrasi dan
budaya tertentu hingga kini.
Feodalisme dan Budaya Pesantren
Belakangan, khususnya dalam ranah sosiologi dan kritik sosial, sebagian
pihak mengaitkan gejala sosial dalam budaya pesantren dengan
feodalisme. Hal ini didasarkan pada observasi terhadap struktur
hierarkis dan kepatuhan tinggi santri terhadap kiai.
Fenomena yang sering dijadikan dasar tuduhan ini meliputi:
- Otoritas
Kharismatik Kiai: Kiai
sering menjadi pusat otoritas tunggal (otoritas personal), tidak hanya
sebagai guru, tetapi juga sebagai pemimpin spiritual, moral, dan pengambil
keputusan mutlak di pesantren.
- Hubungan
Patron-Klien: Adanya
ketergantungan (bimbingan spiritual dan moral) yang kuat dari santri
(klien) kepada Kiai (patron).
- Kultus
Individu: Ketaatan
santri yang dianggap berlebihan (ta'dzim), yang oleh pihak luar
ditafsirkan sebagai pengkultusan individu, mirip dengan pengagungan
penguasa feodal.
Meskipun secara lahiriah terdapat kemiripan struktural (hierarki),
banyak akademisi dan praktisi menolak penyamaan mutlak antara budaya pesantren
dan feodalisme:
|
Aspek |
Feodalisme (Eropa) |
Hubungan Kiai-Santri (Pesantren) |
|
Dasar Kekuasaan |
Penguasaan materi (tanah, kekayaan) dan warisan
darah. |
Penguasaan ilmu agama ('ilm), kesalehan,
dan barakah (anugerah spiritual). |
|
Sifat Relasi |
Ketergantungan ekonomi dan politik (tuan-hamba). |
Ketergantungan spiritual dan pedagogis (guru-murid). |
|
Motivasi Ketaatan |
Paksaan struktural dan kebutuhan
hidup. |
Adab Islami terhadap
guru (ta'dzim) dan pencarian berkah keilmuan (barokatologi). |
Pada dasarnya, ketaatan santri didasarkan pada etika keilmuan
dan spiritualitas, yang meyakini bahwa keberkahan ilmu (Barakah)
hanya didapat melalui penghormatan total kepada sumber ilmu, yaitu guru (Kiai).
Seorang santri rela melakukan pekerjaan pribadi Kiai (seperti mencuci
atau memijat) bukan sebagai budak atau pekerja, melainkan sebagai usaha
mencari barakah dan khidmah (pengabdian)
yang dianggap sebagai jalan pintas memperoleh ilmu yang bermanfaat.
Bagaimana Menyikapi Isu Feodalisme di Pesantren?
Menyikapi isu ini memerlukan pendekatan yang kritis namun kontekstual:
- Memahami
Konteks Nilai: Mengakui
bahwa relasi Kiai-Santri berakar pada nilai-nilai adab dan spiritualitas
Islam (ta'dzim) yang berbeda dari logika politik-ekonomi feodalisme
klasik.
- Kritik
Konstruktif: Mencegah
potensi penyimpangan. Walaupun ketaatan itu didasari adab, praktik
seperti kultus individu berlebihan atau penyalahgunaan
kharisma Kiai (misalnya, untuk kepentingan politik atau ekonomi
pribadi) harus dihindari karena bertentangan dengan prinsip Islam itu
sendiri: "Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat
kepada Allah."
- Mendorong
Transparansi: Mengelola
kekuasaan simbolik dan karismatik dengan sistem kelembagaan yang lebih
modern, transparan, dan melibatkan partisipasi kolektif dalam pengambilan
keputusan. Ini diperlukan agar pesantren dapat adaptif di era modern tanpa
kehilangan nilai-nilai intinya.
Kesimpulan
Feodalisme adalah
sistem hierarkis yang menguasakan tanah sebagai sumber kekuasaan, berkembang di
Eropa Abad Pertengahan dan memiliki kemiripan struktural di kerajaan Nusantara.
Tudingan "feodalisme" di pesantren muncul karena adanya hierarki
yang kuat dan kepatuhan yang tinggi santri terhadap
Kiai. Namun, penting untuk dipahami bahwa otoritas Kiai bersumber dari modal
simbolik (ilmu dan kesalehan) dan ketaatan santri berakar pada adab
keilmuan dan pencarian berkah, bukan dominasi berbasis
kepemilikan material seperti dalam feodalisme.
Masyarakat harus bijak dalam menyikapi isu ini, yaitu dengan menghargai
tradisi adab pesantren sambil tetap waspada terhadap gejala
kultus individu dan mendorong mekanisme kontrol internal untuk
memastikan pesantren tetap menjadi lembaga pendidikan yang menjunjung tinggi
kebernasan berpikir dan kemandirian moral. (ZA)
