Budaya Pesantren dan Isu Feodalisme

Istilah feodalisme sering muncul dalam diskusi mengenai struktur kekuasaan yang tidak demokratis, ketaatan buta, dan hierarki sosial yang kaku. Paham ini merupakan sistem sosiopolitik historis yang berdampak besar pada peradaban, dan belakangan, istilahnya digunakan untuk mengkritisi fenomena tertentu dalam lembaga tradisional Indonesia, termasuk pesantren.

Apa Itu Feodalisme?

Secara etimologi, kata feodalisme berasal dari bahasa Latin, feodum atau feudum, yang berarti tanah warisan atau tanah pemberian.

Feodalisme adalah sebuah sistem sosial, politik, dan ekonomi yang berkembang di Eropa pada Abad Pertengahan. Inti dari sistem ini adalah hubungan timbal balik yang bersifat hierarkis dan personal, terutama yang didasarkan pada kepemilikan dan penguasaan tanah (lahan).

Prinsip Utama Feodalisme

Feodalisme memiliki beberapa ciri utama yang mendasari strukturnya:

  1. Kepemilikan Tanah sebagai Sumber Kekuasaan: Orang yang memiliki atau menguasai lahan luas (tuan tanah/bangsawan) otomatis memiliki kekuasaan ekonomi dan politik mutlak atas orang-orang yang tinggal dan bekerja di lahan tersebut (petani/rakyat jelata).
  2. Hierarki Kaku: Masyarakat terbagi dalam strata yang ketat: Raja, Bangsawan, Ksatria, Petani/Rakyat Jelata. Mobilitas sosial sangat sulit.
  3. Ketaatan Personal: Hubungan antara raja dan bangsawan, atau bangsawan dan petani, didasarkan pada kesetiaan mutlak (homage) sebagai imbalan atas perlindungan atau hak menggunakan tanah. Ketaatan ini bersifat wajib dan seringkali dikultuskan.

Sejarah Singkat Feodalisme

Sistem feodalisme mulai berkembang di Eropa Barat sekitar abad ke-9 Masehi, setelah runtuhnya Kekaisaran Romawi Barat. Wilayah Eropa saat itu mengalami kekacauan, invasi, dan minimnya pemerintahan pusat yang kuat.

Latar belakang historisnya adalah kebutuhan akan perlindungan. Karena raja tidak mampu mengontrol semua wilayah, raja mendelegasikan kekuasaan kepada bangsawan.

Raja memberikan hak penguasaan tanah (fief) kepada bangsawan (lord) sebagai imbalan atas dukungan militer dan kesetiaan. Bangsawan kemudian mengizinkan petani (serf) untuk menggarap tanah mereka, dengan imbalan sebagian hasil panen dan ketaatan.

Feodalisme di Nusantara

Meskipun istilah Feodalisme berasal dari Eropa, sistem yang memiliki ciri-ciri serupa — seperti kekuasaan yang terpusat pada raja/bangsawan, kepatuhan mutlak, dan penentuan status berdasarkan keturunan — telah lama ada di berbagai kerajaan-kerajaan Nusantara. Di Indonesia, sistem ini bahkan dipelihara dan dimanfaatkan oleh pemerintah kolonial Belanda untuk mempermudah kontrol atas rakyat melalui elite tradisional. Sisa-sisa pola pikir hierarkis dan pengagungan jabatan ini masih dapat ditemui dalam birokrasi dan budaya tertentu hingga kini.

Feodalisme dan Budaya Pesantren

Belakangan, khususnya dalam ranah sosiologi dan kritik sosial, sebagian pihak mengaitkan gejala sosial dalam budaya pesantren dengan feodalisme. Hal ini didasarkan pada observasi terhadap struktur hierarkis dan kepatuhan tinggi santri terhadap kiai.

Fenomena yang sering dijadikan dasar tuduhan ini meliputi:

  1. Otoritas Kharismatik Kiai: Kiai sering menjadi pusat otoritas tunggal (otoritas personal), tidak hanya sebagai guru, tetapi juga sebagai pemimpin spiritual, moral, dan pengambil keputusan mutlak di pesantren.
  2. Hubungan Patron-Klien: Adanya ketergantungan (bimbingan spiritual dan moral) yang kuat dari santri (klien) kepada Kiai (patron).
  3. Kultus Individu: Ketaatan santri yang dianggap berlebihan (ta'dzim), yang oleh pihak luar ditafsirkan sebagai pengkultusan individu, mirip dengan pengagungan penguasa feodal.

Meskipun secara lahiriah terdapat kemiripan struktural (hierarki), banyak akademisi dan praktisi menolak penyamaan mutlak antara budaya pesantren dan feodalisme:

Aspek

Feodalisme (Eropa)

Hubungan Kiai-Santri (Pesantren)

Dasar Kekuasaan

Penguasaan materi (tanah, kekayaan) dan warisan darah.

Penguasaan ilmu agama ('ilm), kesalehan, dan barakah (anugerah spiritual).

Sifat Relasi

Ketergantungan ekonomi dan politik (tuan-hamba).

Ketergantungan spiritual dan pedagogis (guru-murid).

Motivasi Ketaatan

Paksaan struktural dan kebutuhan hidup.

Adab Islami terhadap guru (ta'dzim) dan pencarian berkah keilmuan (barokatologi).

Pada dasarnya, ketaatan santri didasarkan pada etika keilmuan dan spiritualitas, yang meyakini bahwa keberkahan ilmu (Barakah) hanya didapat melalui penghormatan total kepada sumber ilmu, yaitu guru (Kiai).

Seorang santri rela melakukan pekerjaan pribadi Kiai (seperti mencuci atau memijat) bukan sebagai budak atau pekerja, melainkan sebagai usaha mencari barakah dan khidmah (pengabdian) yang dianggap sebagai jalan pintas memperoleh ilmu yang bermanfaat.

Bagaimana Menyikapi Isu Feodalisme di Pesantren?

Menyikapi isu ini memerlukan pendekatan yang kritis namun kontekstual:

  1. Memahami Konteks Nilai: Mengakui bahwa relasi Kiai-Santri berakar pada nilai-nilai adab dan spiritualitas Islam (ta'dzim) yang berbeda dari logika politik-ekonomi feodalisme klasik.
  2. Kritik Konstruktif: Mencegah potensi penyimpangan. Walaupun ketaatan itu didasari adab, praktik seperti kultus individu berlebihan atau penyalahgunaan kharisma Kiai (misalnya, untuk kepentingan politik atau ekonomi pribadi) harus dihindari karena bertentangan dengan prinsip Islam itu sendiri: "Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Allah."
  3. Mendorong Transparansi: Mengelola kekuasaan simbolik dan karismatik dengan sistem kelembagaan yang lebih modern, transparan, dan melibatkan partisipasi kolektif dalam pengambilan keputusan. Ini diperlukan agar pesantren dapat adaptif di era modern tanpa kehilangan nilai-nilai intinya.

Kesimpulan

Feodalisme adalah sistem hierarkis yang menguasakan tanah sebagai sumber kekuasaan, berkembang di Eropa Abad Pertengahan dan memiliki kemiripan struktural di kerajaan Nusantara.

Tudingan "feodalisme" di pesantren muncul karena adanya hierarki yang kuat dan kepatuhan yang tinggi santri terhadap Kiai. Namun, penting untuk dipahami bahwa otoritas Kiai bersumber dari modal simbolik (ilmu dan kesalehan) dan ketaatan santri berakar pada adab keilmuan dan pencarian berkah, bukan dominasi berbasis kepemilikan material seperti dalam feodalisme.

Masyarakat harus bijak dalam menyikapi isu ini, yaitu dengan menghargai tradisi adab pesantren sambil tetap waspada terhadap gejala kultus individu dan mendorong mekanisme kontrol internal untuk memastikan pesantren tetap menjadi lembaga pendidikan yang menjunjung tinggi kebernasan berpikir dan kemandirian moral. (ZA)

 

Admin

Lebih baru Lebih lama