![]() |
| Kang MuMa |
Di sebuah desa yang damai, di tengah hamparan sawah milik para petani, hiduplah seorang pemuda bernama Abdullah Azzam. Ia adalah putra dari keluarga petani sederhana, namun memiliki hati yang penuh semangat untuk menuntut ilmu agama. Sejak remaja, Azzam dikirim orang tuanya untuk belajar di pondok pesantren yang ada di kampungnya.
Berbeda dengan santri lain yang menghabiskan sebagian besar waktunya di majelis taklim, Azzam memilih jalan yang lain—jalan khidmah, atau pengabdian. Di pondok itu, ia dikenal sebagai santri yang paling rajin membantu segala pekerjaan rumah kyai. Sejak terbit fajar hingga larut malam, tangan Azzam tak pernah berhenti bekerja: mencuci piring, menyapu halaman, membantu di dapur, hingga merawat kebun di sekitar kediaman kyai. Ia melakukan semua itu dengan wajah ceria dan tanpa mengharapkan pujian.
Bertahun-tahun Azzam menjalani khidmahnya. Seringkali, saat para santri lain duduk melingkar mendengarkan pengajian dan nasihat berharga dari sang kyai, Azzam justru sedang sibuk menyelesaikan pekerjaan di bagian belakang rumah. Ilmu yang didapatkannya mungkin tidak melalui hafalan kitab yang mendalam, melainkan melalui kerja nyata dan keteladanan yang ia saksikan langsung dari keseharian kyainya.
Banyak yang bertanya-tanya, "Apakah Azzam tidak khawatir ilmunya tertinggal?" Namun, Azzam selalu menjawab dengan senyuman tulus. Baginya, melayani kyai dengan ikhlas adalah bagian tertinggi dari menuntut ilmu. Ia yakin, keridhaan gurunya adalah kunci pembuka segala kebaikan. Ia berpegang teguh pada prinsip, "Barang siapa yang berkhidmah, ia akan diangkat derajatnya."
Tibalah saatnya Azzam harus pulang ke kampung halamannya. Ia tidak membawa ijazah berjilid-jilid atau hafalan kitab yang masyhur. Yang ia bawa hanyalah satu hal yang paling berharga: ridho tulus dari kyainya. Saat berpamitan, sang kyai memeluknya erat dan berbisik, "Azzam, pulanglah. Engkau sudah membawa bekal terbaik. Semoga Allah menjadikanmu manfaat bagi umat."
Kepulangan Azzam disambut hangat oleh masyarakat desa. Awalnya, ia hanya memulai dengan mengajar mengaji anak-anak di surau kecil. Namun, berkat keikhlasan dan berkah dari khidmahnya, setiap kata yang keluar dari lisan Azzam terasa menyejukkan dan mudah diterima. Hati orang-orang tersentuh oleh akhlaknya yang mulia, tutur katanya yang santun, dan kebijaksanaannya yang seolah tak lekang oleh usia.
Tak butuh waktu lama, dari seorang anak petani desa yang hanya berbekal ridho guru, Abdullah Azzam kini tumbuh menjadi seorang tokoh dan kyai terkenal di kampungnya. Pondok pesantren yang ia dirikan sederhana, namun dipenuhi keberkahan. Kisah hidupnya menjadi bukti nyata bahwa keberhasilan sejati tidak selalu diukur dari banyaknya gelar atau tingginya jabatan, melainkan dari keikhlasan hati dalam berkhidmah dan ridho seorang guru yang menjadi pintu menuju kesuksesan dunia dan akhirat. Azzam telah mengajarkan kepada kita bahwa pengabdian yang tulus adalah jalan tercepat menuju kemuliaan. (MuMa/Jpr)
