Kabupaten Jepara, yang masyhur sebagai 'Kota Ukir' dan tempat kelahiran pahlawan nasional R.A. Kartini, juga merupakan lumbung ulama besar. Salah satunya muncul dari sebuah desa kecil di ujung utara kabupaten tersebut, Desa Bandungharjo: K.H. Ubaidillah Noor Umar. Lebih akrab disapa Mbah Ubaid, beliau adalah sosok ulama yang karismatik, berwibawa, dan memiliki toleransi tinggi yang memberikan pengaruh besar terhadap tatanan sosial dan keagamaan di Jepara.
Masa Kecil dan Perjalanan Intelektual
Lahir di Bandungharjo pada tanggal 13 Mei 1948, Ubaidillah adalah anak bungsu dari lima bersaudara, putra dari pasangan K.H. Norsyid dan Hj. Ruqayyah. Sejak kecil, ia telah menerima didikan agama langsung dari sang ayah. Pendidikan formalnya dimulai dari Sekolah Rakyat (SR) di desanya.
Namun, semangat tholabul ilmi (mencari ilmu) membawanya melampaui batas desa. Ubaidillah kecil melanjutkan belajar dan mondok di tempat-tempat keilmuan ternama di Jawa Tengah. Ia mengenyam pendidikan hingga kelas lima MTs (sebelum adanya MA) di Perguruan Islam Matholi'ul Falah Kajen, Pati, di bawah bimbingan ulama kharismatik seperti K.H. Ahmad Sahal Mahfudz dan K.H. Abdullah Zein Salam.
Perjalanan belajarnya tidak berhenti di situ. Demi memperdalam ilmu, masa mudanya dihabiskan berpindah dari satu pesantren ke pesantren lain. Ia sempat nyantri di Pondok Pesantren API (Asrama Perguruan Islam) Magelang di bawah asuhan K.H. Chudlori, sebelum kemudian mendalami Al-Qur'an di Pesantren Yanbu’ul Qur'an Kudus yang diasuh oleh K.H. Arwani Amin. Inilah bekal keilmuan yang kelak menuntunnya menjadi seorang ulama yang mendalam dan berwawasan luas.
Pernikahan dan Ujian Hidup
Saat masih menjadi santri di Kudus, Mbah Ubaid dijodohkan oleh ayahnya dengan seorang putri kiai Jepara, Hj. Nayyiroh, putri kandung K.H. Abdullah Hadziq Balekambang. Mereka menikah pada 23 Juli 1972, saat Mbah Ubaid berusia 24 tahun. Dari pernikahan ini, mereka dikaruniai tujuh orang anak: lima putri dan dua putra.
Setelah bertahun-tahun menjalani bahtera rumah tangga dan pengabdian, ujian datang menghampiri. Sang istri tercinta, Hj. Nayyiroh, wafat pada tahun 2010. Beberapa bulan setelah kepergian istri pertamanya, K.H. Ubaidillah memutuskan untuk menikah lagi dengan Hj. Siti Maemunah Sahar binti Mbah Ribut pada tahun 2011.
Pilar Pendidikan: Mendirikan YAPIDU
Meneruskan semangat perjuangan ayahnya yang mendirikan Tarbiyatul Athfal pada tahun 1926, K.H. Ubaidillah bersama sahabat-sahabatnya (di antaranya KH. Muhammad Arief, KH. Muhammad Sulhan, KH. M. Kunthori Hasan, KH. M. Imam Syadzali, KH. Tsalis Mubarok, KH. Asrori Shobirun, KH. Ahmad Qosim Idris dan lainnya) bertekad mendirikan yayasan pendidikan yang lebih komprehensif.
Pada 14 Desember 1987, lahirlah YAPIDU (Yayasan Perguruan Islam Darul Ulum). Yayasan ini menjadi payung bagi berbagai jenjang pendidikan, mulai dari KB DU, TK TA Darul Ulum, MTs, MA, SMKT Darul Ulum, hingga Pondok Pesantren Darul Ulum Putra/Putri. Semua unit lembaga ini berlokasi di Desa Bandungharjo, Kecamatan Donorojo, Jepara, menjadikan desa tersebut sebagai pusat pendidikan Islam yang maju.
Tak hanya di Jawa, visi pendidikan Mbah Ubaid meluas hingga ke Kalimantan. Berawal dari kunjungannya pada tahun 2014, ia melihat potensi besar di sana. Melalui musyawarah, beliau mendirikan cabang YAPIDU di Pangkalan Bun, Kota Waringin Barat, Kalimantan Tengah, yang kemudian berkembang menjadi tiga yayasan, kini dikelola oleh putranya, K.H. M. Haidar Fitri, SH., M.Kn.
Merajut Kerukunan: FORMULA dan Bapak Moderasi Beragama
Warisan terbesar K.H. Ubaidillah Noor Umar bagi Jepara mungkin adalah upayanya dalam merajut kerukunan antar umat beragama. Seringnya terjadi perselisihan terkait ibadah dan tradisi di Kecamatan Donorojo mendorongnya untuk bertindak.
Pada 29 Maret 2014, K.H. Ubaidillah bersama para tokoh lintas agama mendirikan FORMULA (Forum Komunikasi Lintas Agama) Donorojo. Wadah ini bertujuan menciptakan komunikasi yang baik agar para pemuka agama dapat saling memahami adat dan kebiasaan masing-masing. Melalui musyawarah, Mbah Ubaid dipercaya menjadi ketua pertama FORMULA.
Berkat peran FORMULA, kehidupan umat beragama di wilayah tersebut menjadi damai dan tenteram. Kiprahnya yang luar biasa dalam menjaga harmoni ini mengantarkannya diangkat sebagai penasihat FKUB (Forum Kerukunan Umat Beragama) Kabupaten Jepara. Atas perjuangan dan dedikasinya dalam memelihara toleransi, K.H. Ubaidillah Noor Umar dianugerahi julukan mulia: BAPAK MODERASI BERAGAMA JEPARA.
Pengabdian di Nahdlatul Ulama
Selain menjadi seorang pendidik dan tokoh kerukunan, Mbah Ubaid juga merupakan pengabdi setia di organisasi Islam terbesar, Nahdlatul Ulama. Puncak pengabdian beliau adalah ketika beliau terpilih sebagai Rais Syuriah PCNU Jepara periode 2015 hingga 2021. Beliau terpilih melalui sistem Ahlul Halli wal Aqdi (AHWA) dalam Konferensi Cabang (KONFERCAB) NU ke-31, sebuah bukti kepercayaan ulama Jepara terhadap kepemimpinan spiritualnya.
Akhir Perjuangan
Setelah lebih dari tujuh dekade mengabdi, berjuang, dan menyebar ilmu, K.H. Ubaidillah Noor Umar mengakhiri perjuangan beliau. Tepat pada hari Kamis, 5 Januari 2023, dalam usia 74 tahun, beliau berpulang ke pangkuan Sang Pencipta di RSUP Dr. Karyadi Semarang karena sakit demam berdarah (DB).
Meskipun jasadnya telah tiada, api perjuangan dan jasa-jasa Mbah Ubaid terus menyala. Kepemimpinan di YAPIDU dan pesantren kini diteruskan oleh putra-putri beliau, K.H. M. Haidar Fitri, Ustadz M. Zakki Maulida al-Hafidz, menantu beliau K.H. Dr. Agus Salim, Lc, M.Th.I, serta para santri yang berhidmah. FORMULA kini juga dilanjutkan oleh K.H. Muhammad Nur.
Selamat Hari
Santri Nasional ke-10,


