Di sekolah, Dul Ghoni yang dikenal rajin dan ceria kini berubah. Ia
sering melamun di bangku, tugas-tugasnya terbengkalai, dan sorot matanya redup.
Ia merasa terombang-ambing, seperti
perahu kecil tanpa nahkoda di tengah lautan badai. Tak ada yang bisa ia ajak
bicara, karena setiap kali ia menatap ayahnya atau ibunya, yang ada hanyalah
saling menyalahkan dan raut wajah lelah.
Suatu sore, saat pulang
sekolah dengan langkah gontai, takdir membawanya bertemu Mat Pheyang, teman
lamanya di SD. Dul Ghoni terkejut melihat penampilan Mat Pheyang. Rambut
acak-acakan, pakaian sobek-sobek, dan kalung rantai. Mat Pheyang kini menjadi
bagian dari kelompok anak jalanan, yang biasa disebut "anak punk."
"Ghon, tumben murung?" sapa Mat Pheyang
dengan senyum sinis.
Mendengar suara yang dikenalnya, bendungan
kesedihan Dul Ghoni runtuh. Ia menceritakan segalanya, tentang rumah yang tak
lagi hangat, tentang hatinya yang hancur, dan tentang betapa sulitnya fokus
belajar. Ia hanya ingin didengarkan, ingin melepaskan beban.
Mat Pheyang mendengarkan dengan serius, namun di
balik tatapannya, ada rencana licik. "Sudahlah, Ghon. Sekolah itu cuma
buat pusing. Keluarga? Mereka sibuk dengan urusan mereka sendiri, kan? Mereka nggak peduli kamu sedih. Ikut aku
saja. Kita bebas! Nggak ada aturan, nggak ada PR, nggak ada pertengkaran. Dunia
itu luas, Ghon. Jangan cuma di kamar!"
Kata-kata Mat Pheyang,
betapa pun berbahayanya, terasa seperti pelukan hangat yang lama ia rindukan.
Dul Ghoni, yang haus perhatian dan kebebasan dari masalah rumah, akhirnya
terjerumus. Ia meninggalkan seragam, tas, dan buku-buku barunya. Ia memilih jalan
melanglang buana bersama Mat Pheyang dan kawan-kawan, mencari jati diri yang
hilang di jalanan.
Ketidakhadiran Dul Ghoni di
sekolah menjadi sorotan. Daftar absennya menumpuk. Guru Bimbingan Konseling
(BK), Ibu Rima, mencoba menghubungi orang tuanya. Bukannya mencari solusi,
panggilan telepon itu malah memicu perdebatan baru antara Mat Jai dan Mutia.
"Itu salahmu! Kamu yang bikin rumah kita
begini!" tuduh Mat Jai.
"Enak saja! Kamu sebagai ayah harusnya lebih
tegas, bukan malah kabur dari rumah!" balas Mutia.
Di tengah kekalutan ini, Ibu Rima menyadari ada
masalah yang jauh lebih besar dari sekadar "kenakalan remaja." Ini
adalah masalah kesehatan mental, keluarga yang disfungsional, dan teriakan
minta tolong yang terabaikan.
Ibu Rima mengambil inisiatif
solutif. Ia tahu mencari Dul Ghoni di jalanan tanpa bantuan akan sulit, dan
menekan orang tuanya hanya akan membuat mereka semakin defensif.
Langkah
Solutif:
- Pendekatan Holistik: Ibu Rima menghubungi
Ketua RT, tokoh masyarakat, dan juga mengumpulkan informasi dari
teman-teman dekat Dul Ghoni. Ia
menyadari kasus ini harus diselesaikan secara sosial, bukan hanya
administratif.
- Mediasi
Orang Tua: Ibu Rima
mengundang Mat Jai dan Ibu Mutia ke sekolah, bukan untuk menyalahkan,
melainkan untuk memediasi mereka dengan bantuan psikolog sekolah
dan tokoh masyarakat setempat. Inti pesannya: "Lupakan pertengkaran
Anda sejenak. Fokus kita adalah menyelamatkan anak Anda. Dul Ghoni tidak lari dari sekolah,
dia lari dari masalah di rumah. Jika Anda berdua tidak bekerja sama, dia akan hilang selamanya."
- Jembatan Komunikasi: Setelah berhasil
melembutkan hati orang tuanya, tim sekolah bekerja sama dengan komunitas
relawan sosial yang sering berinteraksi dengan anak-anak jalanan. Mereka
tidak mencari Dul Ghoni untuk menghukum, tetapi untuk mengajak pulang
dengan tangan terbuka.
Ketika Ibu Rima dan kedua orang tuanya yang
didampingi mediator datang, Dul Ghoni langsung memeluk ibunya dan menangis.
"Nak, maafkan Ayah dan Ibu," kata Mat
Jai lirih, memecah keheningan. Untuk pertama kalinya dalam waktu lama, ia tidak
menyalahkan Mutia. "Kami terlalu egois. Kami lupa, kamu lebih penting
dari masalah kami."
Ibu Mutia juga memeluknya erat. "Pulang, Nak.
Kita perbaiki semuanya dari awal. Di rumahmu ada tempat untukmu. Sekolahmu
menunggumu."
Dul Ghoni kembali. Ia memang
harus mengulang beberapa pelajaran, namun pihak sekolah memberikannya
kesempatan dan dukungan penuh, termasuk sesi konseling mingguan untuk dirinya
dan sesi terapi keluarga untuk kedua orang tuanya.
Inspirasi:
Dul Ghoni belajar bahwa pelarian ke dunia luar
tidak akan pernah memperbaiki kekacauan di dalam dirinya. Ia belajar bahwa
kekuatan sejati bukanlah pada kebebasan tanpa batas ala anak punk,
melainkan pada keberanian menghadapi kenyataan, meminta bantuan, dan menerima
bahwa setiap masalah besar membutuhkan kolaborasi, bukan perseteruan.
Kisah ini mengajarkan bahwa sekolah bukanlah
sekadar tempat belajar, melainkan rumah kedua dan sistem pendukung bagi
siswa yang sedang rapuh. Dan bagi orang tua, ini adalah pengingat keras bahwa
krisis terbesar seorang anak seringkali adalah dampak dari krisis yang tidak
terselesaikan di antara orang dewasa. Dengan inisiatif, empati, dan
pendekatan solutif yang berfokus pada kesejahteraan anak, bahkan badai terburuk
pun bisa dilewati. Dul Ghoni tidak hanya kembali ke kelas 8; ia kembali ke
dirinya sendiri, membawa pelajaran terpenting dalam hidupnya. (MuMa/Jpr)
