Jerat Utang dan Panggilan Pengabdian

 

Bagian 1: Badai di Atas Kedisiplinan

Pak Kalil, Kepala MTs Al-Barokah, merenung di balik meja kerjanya. Jendela memancarkan cahaya sore yang teduh, namun pikirannya diselimuti awan tebal. Di hadapannya tergeletak tumpukan laporan absensi yang mencolok: Pak Sabar.

Pak Sabar adalah guru legenda Al-Barokah. Selama 37 tahun, ia mengabdi sebagai guru Muatan Lokal, mengajar dengan hati tulus meski tanpa gelar sarjana dan Tunjangan Profesi Guru (TPG). Kebijakan Yayasan yang bijaksana memberinya honorarium yang layak, mencerminkan rasa hormat atas loyalitasnya. Pak Sabar adalah personifikasi dedikasi: rajin, aktif, dan juga anggota terhormat di Pengurus Yayasan. Ia adalah guru Pak Kalil sendiri.

Namun, belakangan, angin berubah. Kebutuhan mendesak untuk pernikahan putri sulungnya telah mendorong Pak Sabar mengambil pinjaman yang cukup besar di BMT rekanan madrasah. Jumlah angsuran bulanan ternyata menguras habis honorariumnya, bahkan tidak mencukupi.

Goyah. Pak Sabar mulai absen mengajar, mencari penghasilan tambahan di luar madrasah untuk menutupi lubang angsuran.

Awalnya Pak Kalil mencoba bersabar, memahami kondisi sesepuhnya. Namun, laporan absensi semakin memburuk. Puncaknya, protes datang dari wali murid. Jam pelajaran kosong, anak-anak terlantar. Kepercayaan publik kepada MTs Al-Barokah terancam. Dilema Pak Kalil sangat berat: mengambil sikap tegas kepada gurunya, sesepuh, dan anggota Yayasan? Ataukah membiarkan kualitas madrasah tergerus demi rasa hormat dan sungkan?

Inilah titik kritis kepemimpinan: saat hati harus sejalan dengan tanggung jawab.

 

Bagian 2: Keputusan Berbasis Solusi

Pak Kalil sadar, keputusan harus diambil. Namun, bukan keputusan yang menghukum, melainkan keputusan yang memanusiakan dan menyelesaikan masalah. Ia memutuskan untuk tidak memanggil Pak Sabar ke ruang kepala sekolah, tetapi meminta waktu untuk berkunjung secara personal ke rumah beliau, sebuah langkah yang melangkahi sekat birokrasi dan mendekat sebagai seorang anak didik.

Malam itu, di rumah Pak Sabar yang sederhana, diiringi teh hangat, Pak Kalil membuka percakapan bukan sebagai Kepala Madrasah, melainkan sebagai murid yang rindu nasihat gurunya.

"Pak Sabar, saya datang bukan untuk menegur," kata Pak Kalil dengan suara lembut. "Saya datang karena saya khawatir. Saya melihat bapak terbebani, dan itu mulai mengganggu 'rumah' kita, Al-Barokah."

Pak Sabar, yang merasa malu dan terpojok selama ini, akhirnya terbuka. Air matanya menetes saat menceritakan bagaimana ia banting tulang mencari uang tambahan hingga meninggalkan kelas yang sangat ia cintai.

"Saya tahu Pak Kalil, saya telah lalai. Tapi saya sungguh tidak tahu harus bagaimana," ujar Pak Sabar.

Pak Kalil mendengarkan. Ia tidak memotong, tidak menyalahkan. Saat Pak Sabar selesai, Pak Kalil menyodorkan beberapa lembar kertas. Itu adalah data angsuran Pak Sabar, dan beberapa opsi solusi yang sudah ia hitung.

"Pak Sabar, Bapak sudah mengabdi selama 37 tahun, pengabdian yang tak ternilai. Sudah waktunya madrasah ini membalas budi, bukan menghukum," kata Pak Kalil.

Solusinya:

  1. Restrukturisasi Utang: Pak Kalil akan menggunakan kewenangannya sebagai Kepala Madrasah untuk bernegosiasi ulang dengan BMT, meminta restrukturisasi pinjaman agar angsuran bulanan bisa dikurangi secara signifikan, sesuai dengan kemampuan finansial Pak Sabar.
  2. Penambahan Tugas Khusus: Untuk menutupi selisih kebutuhan Pak Sabar agar ia tidak perlu mencari pendapatan di luar, Pak Kalil menawarkan penambahan tugas administrasi kearsipan madrasah yang memang membutuhkan ketelitian seorang senior. Tugas ini dapat dilakukan di madrasah di luar jam mengajar dan diberikan honor tambahan yang wajar (bukan honor mengajar).
  3. Penguatan Posisinya di Yayasan: Pak Kalil akan membawa masalah ini secara tertutup ke Ketua Yayasan, meminta agar Yayasan memberikan bantuan sementara (talangan dana) sebagai bentuk apresiasi atas pengabdian Pak Sabar, dengan skema pengembalian yang sangat ringan.

"Tugas Bapak adalah kembali ke kelas, Pak. Kembali mengajar dengan sepenuh hati, karena anak-anak kita merindukan pelajaran Pak Sabar. Biarkan saya menyelesaikan urusan administrasi dan utang ini. Ini adalah cara madrasah berterima kasih kepada gurunya," tutup Pak Kalil.

Keesokan harinya, Pak Sabar kembali mengajar, kali ini dengan senyum yang jauh lebih lebar dan hati yang lapang. Kelas-kelas kembali hidup. Pak Kalil telah membuktikan bahwa kepemimpinan sejati adalah kemampuan untuk menegakkan disiplin tanpa mengorbankan kemanusiaan.

 

Bagian 3: Pelajaran Kepemimpinan

Kepemimpinan Pak Kalil berhasil mengubah krisis disiplin menjadi momen penguatan ikatan emosional dan dedikasi. Ia memecahkan dilema dengan menggabungkan dua hal yang tampak bertentangan: ketegasan profesional dan empati personal.

 

Aksi Nyata Kepala Madrasah yang Harus Dikerjakan

Berikut adalah langkah-langkah solutif dan inspiratif yang harus dilaksanakan oleh Kepala MTs Al-Barokah:

I. Pendekatan Kemanusiaan dan Diagnostik (Empati)

  1. Komunikasi Personal dan Privat: Segera lakukan pertemuan empat mata secara informal (bukan sidang disiplin). Lakukan di luar ruang kerja (misalnya, di rumah Pak Sabar) untuk mengurangi suasana formal dan menciptakan rasa nyaman.
  2. Identifikasi Akar Masalah: Dengarkan secara aktif dan empati. Pastikan masalah utang dan alasannya teridentifikasi dengan jelas (jumlah utang, angsuran, sisa honor). Jangan menghakimi, fokus pada solusi.
  3. Tunjukkan Apresiasi: Tegaskan pengakuan madrasah atas 37 tahun pengabdian Pak Sabar. Jadikan hal ini sebagai landasan bahwa madrasah akan membantu, bukan menghukum.

II. Solusi Finansial dan Administratif (Solutif)

  1. Restrukturisasi Utang ke BMT:
    • Negosiasi: Lakukan komunikasi resmi dengan BMT, memanfaatkan posisi madrasah sebagai mitra kerja. Minta keringanan, perpanjangan tenor, atau penurunan bunga agar angsuran bulanan sesuai dengan sisa honorarium Pak Sabar.
    • Talangan Sementara: Jika Yayasan menyetujui, ajukan dana talangan sementara untuk melunasi sebagian utang yang membebani, dan Yayasan mengatur pengembalian dari Pak Sabar dengan mekanisme yang sangat ringan dan tanpa bunga.
  2. Revisi Beban Kerja dan Insentif:
    • Tambahan Tugas Administrasi: Berikan tugas tambahan yang bernilai (misalnya, menjadi Koordinator Kearsipan Madrasah atau Asisten Perpustakaan Senior) di luar jam mengajar. Tugas ini harus jelas, terukur, dan diberikan honorarium tambahan yang spesifik untuk menutup defisit kebutuhan hidup.
    • Penggantian Jam Kosong: Segera alokasikan guru pengganti untuk semua jam pelajaran Pak Sabar yang telah terlewati, untuk meredakan keresahan wali murid dan siswa.

III. Penegakan Disiplin dan Komitmen (Inspiratif/Profesional)

  1. Perjanjian Komitmen Baru: Setelah solusi finansial disepakati, buatlah perjanjian tertulis yang ringan namun tegas (Surat Komitmen) dengan Pak Sabar yang intinya:
    • Pak Sabar berkomitmen untuk tidak absen lagi dan kembali mengajar 100%.
    • Madrasah berkomitmen penuh membantu penyelesaian masalah keuangannya.
  2. Laporan ke Yayasan: Sampaikan hasil mediasi dan solusi yang diambil kepada Ketua Yayasan. Tekankan bahwa tindakan ini adalah solusi humanis yang menjaga harkat guru senior sekaligus menjaga integritas kedisiplinan madrasah. Mintalah dukungan Yayasan untuk menguatkan kebijakan honorarium bagi guru non-TPG.
  3. Sistem Kontrol dan Evaluasi: Setelah Pak Sabar kembali aktif, lakukan supervisi akademik yang bersifat membina (coaching) bukan menghakimi. Pastikan beliau nyaman dan proses mengajar berjalan baik. Ini penting untuk mengembalikan performa dan profesionalismenya.

Prinsip Utama:

Kepala Madrasah harus memprioritaskan kualitas pembelajaran (hak siswa) dan profesionalisme, tetapi menjalankannya melalui jalur empati dan kolaborasi. Mengambil tindakan tanpa merusak harga diri guru senior adalah puncak dari kepemimpinan yang bijaksana. (MuMa/Jpr)


Lebih baru Lebih lama